Catatan Ashura Asif Hummam Rais kalau disingkat jadi apa?

Kembali

malaikat duduk

It’s been over ten years since I first stepped into high school.


Waktu…

Waktu berjalan cepat. Rasanya, baru kemarin saya mengenakan seragam putih abu-abu untuk pertama kalinya, mengikuti Masa Orientasi Siswa. Tiga hari yang melelahkan, penuh tugas yang menghabiskan waktu 4-6 jam setiap malam, setelah seharian penuh kegiatan yang baru selesai menjelang shalat Isya.

“Keputusan kepala sekolah: karena kalian belum dianggap layak jadi siswa SMA, Masa Orientasi Siswa diperpanjang satu hari lagi!”

Candaan itu masih melekat di ingatan saya, meski hanya sebuah lelucon untuk menambah sensasi.


Waktu berjalan sangat cepat. I used to be pretty good at school. Sebagai siswa SD, mendapatkan nilai tinggi bukanlah masalah besar. Dengarkan guru di kelas, jangan berbuat aneh-aneh, dan sisanya bersenang-senang di rumah dengan PlayStation 2. CD/DVD bajakan? Pasti. Soalnya, memang itu yang ada.

Saya juga ingat sore-sore santai di rumah. Membaca komik Doraemon sambil meneguk segelas es teh manis — sebenarnya dua gelas, karena keluarga kami memang sangat menyukai teh manis.

“Pulang sekolah nanti cukur, ya. Habis itu mampir Gramedia… atau mau beli kaset PS?”


Waktu masih terasa cepat. Sabtu sore kemarin, kami sekeluarga mampir ke kafe bertema makanan Jepang. Saya hanya memesan ocha tawar. Bukan karena sedang berdiet atau apa, tapi mungkin karena sekarang saya lebih sadar pentingnya mengurangi gula. Atau mungkin… es teh manis sudah tidak seenak dulu lagi.


…berjalan…

During college, I used to write blogs—until everything was wiped out, burnt to ashes by my cloud provider due to an issue on their end. In return, I was compensated with a measly one year of free hosting. The rest of my posts? Irrecoverable. Led me to explore GitHub Pages and ultimately, this blog was born.

Wait, why the heck am I speaking in an alien language again?

Saya sebenarnya sangat mencintai bahasa Indonesia. Meskipun sudah tinggal di Singapura lebih dari tiga tahun, saya masih menikmati Netflix dengan subtitle bahasa Indonesia, berbicara tanpa campur-campur bahasa Inggris (walau orang bilang itu logat Jaksel), dan berusaha menggunakan Ejaan yang Disempurnakan.

Tapi kalau ngobrol santai? Ya kali mikirin semua aturan itu, jir.


Saya ingat salah satu tulisan saya di blog lama, “Jujur,” yang diterbitkan 18 Desember 2018. Isinya? Cerita tentang sleep paralysis (ketindihan) dicampur lawakan edgy khas anak kuliah. Baru-baru ini saya membacanya lagi, dan meskipun cringe, ada bagian dari diri saya yang terhibur.

Kalau penasaran, bisa dilihat di sini: Jujur - Catatan Ashura.


…terlalu cepat. Sorry, but, can you stop for a bit?

Kemarin, saya baru pulang dari Indonesia. Akhir Desember memang sudah menjadi tradisi keluarga kami untuk berkumpul di Purwokerto. Mungkin suasana itu membuat saya jadi sentimental, mendorong untuk menulis blog ini dua jam yang lalu. Kini, 2025 sudah tiba. Tahun ini, saya akan berusia 26 tahun. Masih ada mimpi-mimpi yang belum tercapai, sebagian karena saya tidak benar-benar mengejarnya.

I used to be pretty good; now, I’m just your average next-door chill guy.


Saya menyukai bahasa Indonesia.

Apalagi kalo bisa misuh ga jelas kyk gini. Kenapa udah tahun 2025 aja dah? Cepet bgt cok!

Semoga harimu menyenangkan.

Asif, signing off. 😊